Selasa, 02 Mei 2017

hukum pidana ta'zir

MAKALAH HUKUM PIDANA ISLAM
TINDAK PIDANA TA,ZIR
عقوبة التعازير
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

Kelompok XI (Sebelas)
Ketua : Tarmiji Tahir Tanjung (25153006)
Sekretaris : Marwah (25153004)

Fakultas                                : Syari’ah dan Hukum
Jurusan                                 : Hukum Pidana Islam (Jinayah)
Semester                              : IV-A
Mata kuliah                          : Hukum Pidana Islam II
Dosen pembimbing           : Eldin H Zainal MA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
TA.2016/2017
KATA PENGANTAR

                Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa. Atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, dengan bentuk maupun isi yang sederhana semoga maklah tentang tindak pidana ta’zir ini dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran, acuan, petunjuk bagi pembaca yang mencari atau sedang mendalami ilmu tentang pidana Islam yaitu tepatnya dalam pembahasan pidana ta’zir.
                Makalah ini kami susun untuk menambah wawasan, pendalaman, dan pengetahuan bagi para pembaca terutama bagi kami yang menyusun makalah. Dan semoga kedepannya untuk terus mendalami pembahasan yang ada dimakalah ini kami pemakalah mendapat pendalaman yang lebih mengakar sampai kepada inti ta’zir yang sebenar-benarnya, karena dengan makalah yang sederhana ini belum bisa untuk menjawab masalah ta’zir 100% sampai intinya.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rumusan Masalah

1)      Pengertian tindak pidana ta’zir?
2)      Dasar hukum tindak pidan ta’zir?
3)      Macam-macam tindak pidana ta’zir?
4)      Kekuasaan yang menetapkan tindak pidana ta’zir?

B. Pengertian ta’zir

Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah;
تعريف التعازير : التعزير هو تأديب علي ذنوب لم تشرع فيها الحدود، اي: هو عقوبة علي جراْءم لم تضع الشريعة لأنها عقوبة مقدرة.
Ta’ri ta’zir : ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang tidak disyari’atkan padanya hudud, artinya: dianya hukuman atas tindak pidana yang tidak ditetapkan syari’at karena merupakan hukuman yang harus diperkirakan (oleh ulul amri).

Menurut arti bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata ﻋݫر- يعزر yang sinonimnya :
1.       منع ورد yang artinya mencegali dan menolak.
2.       ادب  yang artinya mendidik.
3.       عظم ووقر yang artinya mengagungkan dan menghormati.
4.       اعان وقوى ونصر yang artinya membantunya, menguatkan, dan menolong.
Dari keempat pengertian tersebut, yang paling relevan adalah pengertian pertama: المنع والرد (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua التأديب (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah dan Wahbah Zuhaili.[1]




Wahbah Zuhaili mendefenisikan ta’zir mirip dengan defenisi diatas;
وهوشرعا : العقوبة المشروعة على معصية او جناية لاحد فيها ولا كفارة
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.
               
Ibrahim Unais dan kawan-kawan mendefenisikan ta’zir sebagai berikut;
التعزير شرعا : تأديب لايبلغ الحد الشرعى
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak had mencapai hukuman syar’i.
                Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak manusia (‘adamiyyi) yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ta’zir berfungsi memberikan pelajaran/pendidikan bagi pelaku dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain berpendapat sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kifarat.[2]
                Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas, jelas bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapakan oleh syara’. Dikalangan ulama, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Dari defenisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian, inti dari jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat.
Adapun yang dimaksud dengan maksiat disini adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para fuqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti membayar zakat, meninggalkan shalat fardu, enggan membayar hutang padahal mampu, menghianati amanat, seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil waqaf, dan lain sebagainya.[3]




BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar hukum
            Dasar hukum ta’zir Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
!$¯RÎ) š»oYù=yör& #YÎg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ƒÉtRur ÇÑÈ   (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ  
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(QS. Al-Fath: 8-9)
                Dasar hukum ta’zir dalam beberapa hadis Nabi saw. Hadis-hadis tersebut antara lain:
عن بهزابن حكيم عن ابيه عن جده, ان النبى صلى الله عليه وسلم حبس فى التهمة (رواه ابو داودوالترمذى والنساءى والبيهقى وصححه الحاكم)
                “Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan”. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’I, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).
عن ابى بردة الانصارى رضى الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لايجلد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله تعالى (متفق عليه)
            “Dari Abi Burdah Al-anshari ra. bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda. tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala”. (Muttafaq alaih).
وعن عاءشة رضى الله عنها ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : أقيلوا ذوى الهيءات عثراتهم الاااحدود (رواه احمد ابو داود والنساءى والبيهقى)
            “Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw bersabda: Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, dan Baihaqi).[4]

                Menurut Al-Kahlani para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qodzaf, murtad, dan pembunuhan. Selain jarimah-jarimah tersebut, termasuk jarimah ta’zir, meskipun ada juga jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti liwath (homoseksual), lesbian, dan lain-lain.
B. Macam-macam ta’zir
Jariamah ta’zir jika dilihat dari hak yang dilanggar dapat dibagi kepada dua bagian;
1.       Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah SWT.
Yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya berbuat kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita lain yang bukan istri, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain.
2.       Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu.[5]
Yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu/perseorangan adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan, dan lain-lain.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian;
a.       Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.
b.      Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
c.       Ta’zir karena melakukan pelanggaran (Mukhalafah).
Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian;
1.       Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah Hudud atau Qishash, tetapi syarat-syaratnya  tidak terpenuhi, atau ada subhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.
2.       Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumnya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran atau timbangan.
3.       Jarimah ta’zir yang baik jenis ataupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Ciri-ciri yang mutlak terdapat pada jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
a.       Tidak diperlukan asas legalitas secara khusus, seperti pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Artinya setiap jarimah ta’zir tidak memerlukan ketentuan khusus karena nash hukumnya tidak ada, samar, atau diperdebatkan.
b.      Bentuk perbuatan dapat merugikan orang lain.
c.       Ketentuan hukumnya menjadi wewenang Hakim.
d.      Jenis sanksinya bervariasi.[6]
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada beberapa bagian;
1). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan
Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman mati (qhishash) dimaafkan maka hukumnya diganti dengan diat. Apabila hukaman diat dimaafkan juga maka ulil amri berhak menjatuhkan hukuman ta’zir apabila hal itu dipandang lebih maslahat.[7]
Kasus lain yang berkaitan dengan pembunuhan yang diancam ta’zir adalah percobaan pembunuhan apabila percobaan tersebut dapat dikategorikan kepada maksiat.
2). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan
Menurut imam Malik, hukum ta’zir dapat digabungkan dengan qishash dalam jarimah pelukaan, karena qishash merupkan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat. Disamping itu,ta’zir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelaku apabila qishashnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’
3). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak
Jarimah ta’zir macam yang ketiga ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Diantara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman had, atau terdapat subhat dalam pelakunya, atau tempat(objeknya).
Penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zir adalah apabila orang yang dituduh itu adalah bukan orang muhshan. Kriteria muhshan menurut ulama adalah berakal, baligh, islam, dan iffah (bersih dari zina). Apabila seseorang tidak memiliki syarat-syarat tersebut maka ia termasuk ghair muhshan. Termasuk juga kepada ta’zir, penuduhan terhadap sekelompok orang yang sedang berkumpul dengan tuduhan zina, tanpa menjelaskan orang yang dimaksud.
4). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian dan perampokan. Apabila kedua jarimah tersebut syarat-syaratnya telah dipenuhi maka pelakunya dikenakan hukam had. Akan tetapi, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan hukuman had melainkan hukuman ta’zir.
5). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jarimah ta’zir yang masuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan yang benar) di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacy orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin).
6). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah ta’zir yang masuk dalam kelompok ini adalah :
a.       Jarimah yang mengganggu keamanan negara/pemerintah, seperti percobaan kudeta.
b.      Suap.
c.       Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalai dalam menjalankan kewajiban. Contohnya seperti penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara, atau kewenang-wenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.
d.      Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat.
e.      Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap pengadilan, dan menganiaya polisi.[8]
C. Macam-macam hukuman ta’zir
1). Hukuman Mati.
Sebagian besar fuqaha memberikan pengecualian dari peraturan umum tersebut, yaitu memperbolehkan hukan mati sebagai hukum ta’zir manakala kemaslahatan umum menghendaki yang demikian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku tidak bisa ditolak kecuali dengan jalan pembunuhan, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bdi’ah (penyebar fitnah), dan residivis yang berbahaya.[9]
Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukan mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang ulang.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti melakukan kerusakan dimuka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha hanabilah.
Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan assunnah. Demikian pula hukuman mati dapat diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan muhshan dan ghaitu muhshan.[10] Alasan yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا المفعول به (رواهالخمسةالاالنساءى)
“siapa-siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum nabi Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan objeknya. (hadis diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali Nasa’i)”
2). Hukuman Jilid (Dera).
Hukuman jilid merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan juga merupakan hukuman yang di tetapkan untuk tindak pidana hudud dan ta’zir. Hukuman ini bahkan merupakan hukuman yang diutamakan bagi tindak pidana ta’zir yang berbahaya. Sebab-sebab yang mengutamakan hukuman tersebut adalah beberapa hal-hal berikut;
·         Lebih banyak berhasil memberantas para pelaku berbahaya yang biasa melakukan tindak pidana.
·         Hukuman jilid (dera) mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah. Hakim bisa memilih jumlah jilid/dera yang terletak antara keduanya yang sesuai dengan tindak pidana dan keadaan diri pelaku sekaligus.
·         Dari segi pembiayaan pelaksanaannya, hukuman ta’zir jilid/dera tidak merepotkan keuangan negara dan tidak pula menghentikan daya usaha (produktivitas) pelaku ataupun menyebabkan keluarganya terlantar, sebagaimana yang diakibatkan oleh hukuman kurungan.
·         Hukuman jilid/dera dapat menghindarkan pelaku dari akibat-akibat buruk penjara, seperti rusaknya akhlak, kesehatan, dan terbiasa menganggur dan bermalas-malasan.[11]
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) seperti tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya.[12]
Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk pada bagian dada dan perut, karena pukulan kepada bagian tersebut dapat membahayakan keselamatan orang yang terhukum. Larangan pencambukan pada bagian kepala didasarkan kepada atsar sahabat Umar yang mengatakan kepada eksekutor jilid.
اياك ان تضرب الرأس والفرج
“hindarilah untuk memukul kepala dan farji”.[13]
3). Hukuman penjara dan kurungan.
                Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum islam yaitu hukuman kawalan terbatas (waktunya) dan hukuman kawalan tidak terbatas.
a.       Hukuman kawalan terbatas
Hukum islam menetapkan hukuman kawalan terbatas untuk pidana ta’zir biasa dan pidana ringan/biasa. Batas terendah hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi tidak ada kesepakatan diantara fuqaha.
b.      Hukuman kawalan tidak terbatas
Telah disepakati oleh fuqaha bahwa orang yang dikenakan hukuman ini adalah orang yang berbahaya, orang yang terbiasa melakukan tindak pidana (mu’tadul ijram), orang biasa melakukan tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, dan pencurian atau orang yang tindak pidananya tidak dapat dicegah dengan hukuman biasa.[14]
4). Hukuman pengasingan (at-taghrib)
                Hukuman ini dijatuhkan jika perbuatan pelaku dapat memengaruhi orang lain (menjalar) atau membahayakan dan merugikan orang lain.
5). Hukuman penyiaran nama baik, yaitu disebarluaskan kejahatannya oleh berbagai media (tasyhir)
                Hukuman ini dijatuhkan atas tindak pidana yang berkaitan dengan keprcayaan, seperti kesaksian palsu dan penipuan.
6). Hukuman denda berupa harta (garamah)
                Suatu hal yang disepakati fuqaha bahwa hukum Islam menghukum sebagian tindak pidana ta’zir dengan denda
7). Hukuman kaffarah, karena pelaku berbuat maksiat, misalnya berpuasa dua bulan  berturut-turut, memberi makan fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya, dan memberi pakaian kepada orang yang membutuhkan.[15]
8). Hukuman salib
                Untuk hukuman ta’zir, hukuman salib tidak dibarengi atau didahului oleh hukuman mati. siterhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang wudhu untuk mengerjakan shalat, tetapi selam masih disalib terhukum shalat harus dengan isyarat.
9). Hukuman peringatan
                Dalam hukum Islam, hukuman peringatan termasuk hukuman ta’zir. Hakim boleh hanya menghukum pelaku dengan hukuman peringatan bila hukuman itu cukup membawakan hasil. Al-Qur’an secara jelas menyebutkan hukuman peringatan:
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù ……  
“ wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka”
10). Hukuman teguran (Taubikh)
                Apabila hakim memandang bahwa hukuman teguran dapat memperbaiki dan mendidik terpidana, cukup bagi hakim menjatuhkan hukuman teguran kepada terpidana.
11). Hukum ancaman (tahlid)
                Hukum ancaman juga termasuk dalam hukuman ta’zir, dengan syarat bukan ancaman kosong dan hukuman ini membawa hasil serta dapat memperbaiki keadaan terpidana dan mendidiknya.
12) Hukuman-hukuman lainnya[16]
·         Dicabut dari hak kepegawaian (pemecatan / al-azlu minal wazifah)
·         Pencabutan hak-hak tertentu (al-hirman)
·         Perampasan harta materil (al-musadarah)
·         Pemusnahan (izalah)
 C. Kekuasaan yang menetapkan ta’zir
                Menurut mazhab Hanafi, ta’zir diserahkan kepada pemerintah atau ulul amri dengan mempertimbangkan stratifikasi manusia yang dibaginya kepada empat macam, yaitu: orang yang paling mulia adalah golongan ulama disebut dengan asyraf al-Asyraf. Kedua: orang-orang yang mulia yaitu para pemimpin yang harus diberi sanksi yang lebih berat, bisa dengan peringatan keras atau dihadirkan ke meja hijau (pengadilan) disebut dengan al-Asyraf. Ketiga: harus diberi peringatan keras atau hukuman penjara disebut dengan al-Ausath. Sedangkan golongan keempat disebut dengan al-Akhsa (rendah) mereka harus dipenjara atau dihukum jilid.
                Menurut mazhab Hambali, diserahkan kepada pemerintah (ulul amri) untuk mempertimbangkan berat ringan hukumannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Taimiyyah, bahwa ta’zir merupakan otoritas pemerintah yang hukumannya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukannya.
               


Menurut mazhab Syafi’i, pada prinsipnya hukum ta’zir diserahkan kepada ijtihad ulul amri, baik jenisnya maupun berat ringan hukuman disesuaikan dengan keadaan pelaku, dan tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan menurut imam Malik, hukuman ta’zir disesuaikan dengan kondisi dan situasi pelaku, bahkan perbedaan tempat dan waktu akan mempengaruhi berat ringannya hukuman.[17]
                Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa jarimah ta’zir merupakan hukuman yang diserahkan kepada pemerintah (ulul amri), khususnya Hakim yang menjatuhkan hukuman.
                Dalam hal otoritas/kekuasaan Hakim menjatuhkan hukuman imam mazhab berbeda pendapat; menurut mazhab Hanafi, otoritas Hakim tidak mutlak, hanya dari segi macamnya hukuman, berarti bila sanksi yang dipilih adalah sanksi jidil, maka harus dikaitkan dengan batas tertinggi had dan tidak boleh melampauinya.
                Menurut mazhab Syafi’I, apabila hakim memilih hukuman pengasingan (al-taghrib) sebagai hukam ta’zir, maka tidak boleh melampaui batas lebih dari satu tahun. Golongan maliki berpendapat bahwa otoritas hakim berpengaruh dari segi macam dan kadarnya, jadi dapat memilih satu macam hukuman menurut ijtihadnya, bahkan dapat melampaui batas sanksi hudud, .
Menurut mazhab Hambali, dan sebahagian mazhab Syafi’iyah apabila siterhukum itu residivis dan hukum hak tidak memberikan pengaruh baginya maka hakim boleh menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman mati agar tidak membawa mudarat kepada manusia.[18]
                Dari pendapat-pendapat para imam mazhab diatas menunjukkan bahwa ancaman ta’zir diserahkan kepada Hakim untuk menjatuhkannya, akan tetapi ia harus mempertimbangkan dari berbagai segi tanpa melampaui  batas kemanusiaan. Hakim hanya bertugas untuk menjatuhkan sanksi terhadap sipelaku sementara untuk penetapan tindak pidana ta’zir sepenuhnya hak ulul amri. Dalam artian lain bahwa yang menetapkan kadar hukum tindak pidana ta’zir adalah ulil amri dan yang menetapkan hukuman untuk pelaku tindak pidana adalah otoritas Hakim.


BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
                Dari pembahasan diatas (pembahasan makalah) dapat kita tarik beberapa kesimpulan :
v  Yang pertama itu kita dapat menyimpulkan bahwa artian ta’zir yang sebenar-benarnya berdasarkan beberapa pendapat para pakar hukum islam adalah suatu istilah atau nama bagi suatu perbuatan atau tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan syara’. Dan termasuk juga tindak pidana hudud dan qishash/diyat jika pembuktiannya tidak memenuhi rukun dan syarat maka tindakan tersebut berpindah menjadi kepada pidana ta’zir.
v  Yang kedua itu kita dapat menyimpulkan bahwa pembagian jenis-jenis/macam-macam ta’zir itu perlu untuk kita lebih mudah memahami baik itu dari segi hak yang dilanggar, sifatnya, dan dasar hukumnya.
v  Yang ketiga dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan yang menetapkan ta’zir itu dari segi undang-undangnya adalah seutuhnya hak pemerintah (ulul amri)  dan dari segi pembuktian atau penjatuhan hukum sepenuhnya milik hakim.



[1] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 248
[2] Nurul irfan, Fiqh jinayah, (Jakarta: Amzah,2013), hlm. 136
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 249
[4] Ibid, hlm. 253
[5] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 255

[6] Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam fiqh jinayah, (Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm. 594
[7] Ibid, hlm. 257
[8] Ibid, hlm. 258

[9] Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 89
[10] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 259
                                                                            
[11] Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 94
[12] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 260

[13] Ibid. hlm. 260-261
[14] Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 97
[15] Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam fiqh jinayah, (Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm. 596
[16]Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 101
[17] Zainal H Eldin, Hukum Pidana Islam sebuah perbandingan, (Bandung: Citapustaka, 2011), hlm. 175
[18] Ibid, hlm. 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar