Selasa, 02 Mei 2017

aliran hukum filsafat hukum


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 SM), Aristotle ( 348-322 SM ) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari kalangan Kristen, Grotius (1583-1645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704).
Teori Hukum berkenaan dengan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan Hukum Alam (Natural Law)? Dihubungkan dengan Teori Hukum Alam (Natural Law), maka Teori Hukum lebih berhubungan dengan karakter dari hukum atau karakter dari suatu sistem hukum daripada isinya, yaitu peraturan perundang-undangan yang spesifik. Namun demikian, setiap penjelasan yang tepat mengenai Hukum Alam (Natural Law), akan mengakomodasi fungsi dan administrasi dari ketentuan-ketentuan hukum tertentu dari suatu sistem hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, ada yang menekankan kepada satu atau lebih aspek khusus di dalam mana hukum positif beroperasi. Analisis hukum yang lainnya memberikan tekanan yang khusus kepada kekuasaan dan posisi dari pembuat undang-undang, sementara yang lainnya memberikan penekanan kepada pengadilan, yang lainnya melihat sikap dari masyarakat yang menjadi subjek hukum, dan lainnya lagi menekankan kepada moral dan nilai-nilai sosial di mana hukum itu bertujuan untuk mereflesikannya dan mendorongnya. Analisis dari unsur-unsur hukum seperti tersebut di atas, metode pendekatannya umumnya dikenal sebagai “doktrin Hukum Alam”, “positivisme”, dan “realisme”, kesemuanya menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuk diperhatikan dan dengan demikian membuatnya saling bersaing, kadang-kadang menimbulkan konflik, dalam usaha untuk mendapat pengakuan. Kontribusi masing-masing seringkali digunakan sebagai alasan kritik terhadap metode yang lain.

B. Rumusan Masalah
1.      Pengertian Hukum alam.
2.      Teori-teori hukum alam menurut para Tokoh.
3.      Bagaimana perbedaan antara hukum alam dan hukum manusia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.Pengertian Hukum Alam

Pembahasan tentang sifat daripada hukum, sebagian mengenai “hukum dari alam” (“the law of nature”). Berdasarkan idologi tertentu yang ada dibalakangnya, berbagai nama dipergunakan untuk subjek yang sama, seperti hukum alam semesta (the law of the universe), hukum Tuhan (the law of God), hukum yang kekal/abadi (the eternal law), hukum dari umat manusia (the law of mankind) dan hukum dari akal (the eternal of reason).[1]
Klaim yang sentral terhadap “hukum dari alam” (“the law of nature”) ialah apa yang sifatnya alamiah, yang seharusnya terjadi. Hukum dari alam (“the law of nature”) seharusnya menjadi hukum yang mengatur untuk semua benda, termasuk manusia dan hubungan-hubungan manusia. Hipotesa dari asumsi di belakang teori ini, bahwa hukum atau seperangkat hukum menguasai atau mengatur semua hal, apakah itu grafitasi, gerakan, phisik, dan reaksi kimia, insting binatang atau tindakan manusia. Boleh dikatakan tindakan kita yang tertentu dan reaksinya ditentukan oleh hukum dari alam (the law of nature) dan segala yang terjadi berlawanan adalah berlawanan dengan alam. Jika sebuah batu dijatuhkan dalam keadaan gravitasi normal, ia akan menentang hukum grafitasi jika terangkat ke udara. Menurut hukum gravitasi, batu itu akan jatuh ke bawah, namun demikian batu itu tidak mempunyai akal dan tidak memiliki kapasitas untuk memilih apa yang ia inginkan. Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan dalam berbagai kombinasi. Hukum alam yang di terima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri, yaitu kodratnya. Dalam Bahasa Indonesia Istial “Hukum alam” lebih mendekatkan LEX naturae dalam arti yang umum, yaitu sebagai daya yang menyebabkan bahwa segala yang ada didunia ini berjalan menurut aturan yang telah di tetapkan. Karenanya untuk mengungkapkan arti lex naturalis sebaiknya di pakai istilah lain yaitu hukum kodrat.
Hukum kodrat lebih kuat dari pada hukum positif sebab menyangkut makna kehidupan manusia itu sendiri. Karenanya hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Dengan kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalam aturan alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.[2]

B.Hukum Kodrat dalam sejarah
a.Zaman Klasik
Tokohnya adalah Aristoteles. Menurut aristoteles manusia sebagai makhluk politik ( zoon politicon ) harus menyumbang bagi Negara yang merupakan kewajiban alamiah bagi laki-laki yang mempunyai hak-hak Yuridis sebagai warga polis.

b.Abad Pertengahan
Tokohnya adalah Thomas Aquinas. Menurut Aquinas hukum kodrat sebagai prinsip-prinsip segala hukum positif, berhubungan langsung dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan. Prinsip-prinsip tersebut di bagi menjadi dua, yaitu :
1.      Prinsip hukum kodrat primer, yaitu prinsip hukum yang telah dirumuskan oleh para pemikir Stoa zaman klasik. Prinsip hukum kodrat primer yaitu :
( Hidup terhormat ),
( Tidak merugikan orang lain ),
( Memberikan orang lain sesuai haknya ).
2.      Prinsip hukum kodrat sekunder, yaitu norma-norma moral seperti jangan membunuh, mencuri dan lain sebagainya.
Dalam hal ini Thomas Aquinas menggabungakan lex Naturalis dengan lex Aeterna ( hukum abadi ) yang ada pada Tuhan, dalam defenisinya  : ( hukum kodrat itu tidak lain adalah partisipasi hukum abadi dalam ciptaan yang berakal budi ).
c.Zaman rasionalisme
Pada Zaman ini lazim diterima bahwa hukum kodrat sebagai pernyataan akalbudi praktis manusia. Para pemikir zaman ini cenderung menyusun suatu daftar hukum kodrat yang dianggap tetap berlaku dan abadi. Pada zaman ini Hugo Grotius menyatakan prinsip hukum a priori, yaitu hukum kodrat yang berlaku positif. Menurut Grotius, ada dua macam prinsip-prinsip dalam konsepnya tersebut, yaitu :
1.      Prinsip-prinsip dasar, meliputi : prinsip kupunya-kaupunya, prinsip kesetiaan pada janji, perinsip ganti rugi, prinsip perlunya hukuman.
2.      Prinsip-prinsip yang melekat pada subjek hukum, meliputi hak atas kebebasan, hak untuk berkuasa atas orang lain, hak untuk berkuasa sebagai majikan, hak untuk berkuasa atas milik.

d.Awal abad XX
Pada awal abad ini beberapa pemikir berusaha lagi untuk menyusun suatu daftar hukum kodrat, diantaranya Messner. Menurut messner hukum kodrat sama dengan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan sosial dan individual. Defenisi hukum kodrat dari messner berbunyi : Das Naturrecht ist die ordnung der in der mensnhilhen nature mit ihren Eigenverantwortlichkeiten( hukum kodrat ) adalah aturan hak-hak ( kompetensi ) khas baik pribadi maupun masyarakat yang berakar dalam kodrat manusia yang bertanggung jawab sendiri ). Menurut Messner terdapat tiga macam hukum kodrat, yaitu : [3]
1.      Hukum kodrat primer yang mutlak, yaitu memberikan kepada tiap orang sesuai haknya. Dari prinsip ini diturunkan prinsip-prinsip umum seperti jangan membunuh, dan seterusnya.
2.      Hak fundamental, yaitu kebebasan batin, kebebasan agama, hak atas nama baik, hak atas privacy, hak atas pernikahan, hak untuk membentuk keluarga, dan sebagainya.
3.      Hukum kodrat sekunder, yaitu hak yang diperoleh karena berkaitan dengan situasi kebudayaan, misalnya hak milik dan azas-azas hukum adat.
C.Akal dan hukum Alam
Kini kekuasaan intelektual dari akal menggantikan kekuasaan spiritual dari hukum tuhan. Adalah Hugo Grotius yang telah member ungkapan klasik bagi dasar-dasar baru baik bagi hukum alam maupun untuk prinsip-prinsip hukum internasional. Sistem Aristoteles merupakan sumber kearifan, tetapi Grotius membelokkanya untuk keperluan yang berbeda.
Menurut Grotius, sifat manusia yang khas adalah keinginannya untuk bermasyarakat, untuk hidup tenang bersama kawan-kawan, dan ini sesuai dengan watak inteleknya. Prinsip-prinsip hukum alam berasal dari sifat intelek manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh damai. Prinsip-prinsip itu terlepas dari perintah tuhan. “ Hukum alam sangat kekal, hingga oleh tuhan pun tidak dapat diubah. “Menurut Grotius prinsip-prinsip akal ini dapat di kurangi dengan dua cara yang berbeda : A Priori, dengan menguji segala sesuatu dalam hubungnnya dengan sifat rasional dan sifat sosial manusia, dan A posteriori, dengan menguji penerimaan prinsip-prinsip ini diantara bangsa-bangsa Grotius mengatakan bahwa yang pertama adalah cara yang lebih halus.
Dalam karya Grotius, ide tentang hukum alam sekali lagi di asumsikan mempunyai fungsi konstruktif dan praktis, dapat disamakan dengan apa yang dilakukan orang-orang di zaman tumbuhnya hukum romawi menuju sistem cosmopolitan. Dalam kedua kasus itu dasarnya dibentuk oleh prinsip yang dikurangi sebagian dan prinsip yang sebagian dan perinsip dapat di terima umum. Dalam hukum internasional, hukum alam secara gradual dan secara halus dikurangi posisi superiotasnya atas tindakan-tindakan Negara, menjadi rumusan kosong yang cukup baik untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Negara-negara tetapi terlalu lemah untuk turut campur secaranyata.[4]

D.Teori Hukum Alam
1. TEORI HUKUM ALAM ( tokoh : aristoteles, Thomas aquino dan hugo de groot/ grotius)
Kenapa orang tunduk dan taat pada hokum ?
Menurut aristoteles :
-          hukum berlaku karena penetapan Negara
-          hukum tidak tergantung pada pandangan manusia tentang baik buruknya
-       hukum alam sebagai hukum yang asli berlaku dimana saja tidak tergantung waktu dan tempat , orang-orang yang berfikiran sehat merasakan hokum alam selaras dengan kodrat manusia.
Menurut Thomas Aquino : segala kejadian dalam ini di perintah dan dikendalikan oleh suatu UU abadi ( lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan lainnya . lex aterna  kehendak pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini.
Menurut Thomas Aquino pula hukum alam memuat dua azas yaitu :
a.       azas umum ( principia prima) : azas yang dengan sendirinya dimiliki manusia sejak lahir dan mutlak diterima ( contoh : berbuat baik) .
b.      azas diturunkan dari azas umum ( principia secundaria) : azas yang merupakan tapsiran dari principia prima yang dilakukan manusia

·         Thomas Aquino membagi 4 macam golongan hukum alam sebagai berikut :
1.         lex aetrna ( hukum abadi) : yaitu rasio tuhan sendiri yang mengatur segala hal yang ada sesuai dengan tujuan dan sifatnya , merupakan sumber segala hokum.
2.         lex divina ( hukum ketuhanan ) : sebagian kecil dari rasio tuhan yang diwahyukan kepada manusia.
3.      lex naturalis ( hukum alam) : bagian dari lex divina yang dapat di tangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan lex aeterna didalam rasio manusia.
4.         hokum positif : hukum yang berlaku nyata didalam masyarakat ( ius constitutum).[5]

·         Hugo De Groot/ grotius dalam bukunya de jure oc pacis bahwa sumber hukum alam adalah akal manusia.

a.  TEORI SEJARAH ( fried cral vo savigny 1779-1861) hukum itu penjelmaan jiwa / rohani manusia , hukum bukan disusun / diciptakan manusia tetapi tumbuh sendiri ditengah rakyat dan akan mati bila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya
b.  TEORI TEOKRASI : teori ini mendasarkan kekuatan hukum itu atas kepercayaan pada tuhan , manusia di perintahkan tuhan harus tunduk pada hukum . Tujuan dan legitimasi hukum dikaitkan dengan kepercayaan agama
c.  TEORI KEDAULATAN RAKYAT : ( Rousseau) : akal dan rasio manusia , sebagaimana aliran rasionalisme , raja atau penguasa Negara memperoleh kekuasaan bukan dari tuhan tetapi dari rakyatnya melalui suatu perjanjian masyarakat ( kontrak social ) yang diadakan antara anggota masyarakat untuk mendirikan Negara
d. TEORI KEDAULATAN NEGARA ( Hans kelsen) ; hukum ditaati karena Negara menghendakinya , hukum adalah kehendak Negara dan Negara punya kekuasaan tak terbatas
e.  TEORI KEDAULATAN HUKUM ( prof. Mr. Crabe , Hugo De Groot, Imanuel Kant & Leon Duguit ) : sumber hukum itu rasa keadialan hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat peraturan demikian bukanlah hukum , walaupun masih ditaati atau pun dipaksakan.
f.  TEORI KESEIMBANGAN ( prof. Mr. R. Kranenburg) : kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata.

Hukum alam (Natural Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum yang konon ditentukan oleh alam, dan oleh karenanya bersifal universal.
Teori-teori Hukum Alam dapat dibagi atas beberapa macam yaitu:
1.      Hukum Alam yang bersifat otoriter dan yang bersifat fakultatif. Hukum Alam sebagai hukum yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum positif (ius constitutum), di lain sisi Hukum Alam sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum positif harus disesuaikan;
2.        Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis) dan yang konservatif (kaku/ statis). Teori ini diilhami oleh dua macam cita-cita, pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang menguasai umat manusia yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak-hak azazi yang tidak dapat dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang sosiologis.
3.      Hukum Alam yang relijius/ agamis dan yang profane/ rasionalis. Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/ agamis, dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum Individualistis.
4.      Hukum Alam yang bersifat mutlak/ absolut dan yang bersifat relative/ nisbi. Feodalisme yang mencerminkan hukum absolute atau hukum Jawa Kuno dengan ungkapan “sabda pandhito ratu”.

E.Pemikir Teori Hukum Alam
Cukup banyak filsuf yang menjadi pemikir atau penggagas teori hukum alam. Pemikiran masing-masing tokoh hukum alam tersebut antara lain sebagai berikut:
a.       Plato (472-347 SM), meskipun Plato tidak memiliki teori secara eksplisit mengenai hukum alam, namun pemikirannya tentang alam, menurut John Wild, mengandung beberapa elemen yang ditemukan dalam teori hukum alam. Menurut Plato, kita semua hidup dalam dunia yang tertata. Inti dari dunia yang tertata ini, atau alam, adalah bentuk-bentuk, yang paling fundamental adalah Bentuk Kebaikan, yang Plato menguraikannya sebagai “wilayah yang paling cemerlang dari suatu makhluk”. Bentuk Kebaikan adalah asal mula segala hal dan jika itu terlihat maka akan menuntun seseorang untuk berbuat secara bijak.
b.      Menurut Aristoteles (384-322 SM), Hukum Alam ialah “Hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam.”Segala yang diperintahkan oleh hukum dapat berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, tetapi segala yang diperintahkan “oleh alam” akan selalu sama dimanapun. Oleh karenanya, hukum alam lebih merupakan sebuah paradoks daripada sesuatu yang secara nyata eksis/ ada.
c.       Menurut Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), dengan aliran stoic-nya, konsep Hukum Alam diartikan sebagai prinsip yang meresapi alam semesta, yaitu akal yang menjadi dasar bagi hukum dan keadilan. Tujuan dari hukum positif adalah untuk menciptakan ‘keamanan penduduk, pelestarian negara, dan kedamaian dan kebahagiaan umat manusia’. Menurut pandangan ini, ‘undang-undang yang kejam dan tidak adil’ adalah ‘bukan hukum’, karena di dalam definisi hukum yang sebenarnya terkandung ide dan prinsip untuk memilih yang adil dan benar.
d.      Menurut Thomas van Aquino (1225-1274), penganut hukum alam dari aliran scholastik, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh akal ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Hukum dibagi ke dalam empat golongan:
Lex Aeterna, rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia;
Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap panca indera manusia berdasarkan waktu yang diterimanya;
Lex Naturalis, hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum positif dibagi menjadi dua, yaitu hukum positif yang dibuat oleh Tuhan (kitab-kitab suci) dan hukum positif yang dibuat oleh manusia.[6]
e.       Hugo de Groot (1583-1645), dalam bukunya “De jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai), mengatakan bahwa sumber Hukum Alam adalah pikiran atau akal manusia. Hukum alam ialah pertimbangan yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar.
F.Fungsi Hukum Alam
Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam Ishaq, fungsi hukum alam terhadap hukum positif adalah sebagai berikut:
a.   Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
b.   Hukum alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional.
c.   Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.
d.   Menurut Friedman dalam Satjipto Rahardjo, fungsi hukum alam adalah sebagai berikut:
e.   Instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
f.    Menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak (pihak gereja dan pihak kerajaan) dalam pergaulan mereka.
g.   Keabsahan hukum internasional ditegakkan atas nama hukum alam.
h.   Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.

G.Kekuatan dan Kelemahan Hukum Alam
Prinsip utama hukum alam adalah hukum tersebut bersifat universal. Nilai-nilai yang diajarkan dalam hukum alam berlaku bagi semua pihak, tidak berubah karena kaitannya dengan alam. Unversalitas tersebut menjadi kekuatan hukum alam, karena ia menjadi ukuran validitas hukum positif. Hukum alam dapat digunakan sebagai landasan dalam melakukan kritik terhadap keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan, dan bahkan mengkritik hukum. Universalitas ini terlihat pada pemberlakuan nilai-nilai (values) dan moral, yakni dengan nilai-nilai yang diturunkan dari Tuhan, yang secara filosofis menjadi acuan bagi pembentukan hukum positif. Dengan kekuatan tersebut, hukum alam dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan moral yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum masa kini.

Namun demikian, universalitas tersebut juga menjadi kelemahan dari hukum alam sendiri. Karena sifatnya yang universal, maka perlu untuk dilakukan ‘positivisasi’ nilai-nilai dalam hukum alam tersebut, agar secara konkrit dapat diketahui bentuk hukumnya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sosial. Prinsip-prinsip dalam hukum alam bersifat abstrak, sehingga perlu di-‘breakdown’ atau diterjemahkan ke dalam peraturan yang lebih konkrit.

Mengacu pada Struktural-Fungsional (Talcott Parson), secara singkat dapat dikatakan bahwa kekuatan hukum alam adalah pada nilai-nilainya (the values) dan kelemahannya adalah pada kekuatan berlakunya (the energy).

H.Hukum Alam Zaman Modern
Periode zaman Renaissance di Eropa, perdebatan tentang Hukum Alam terkait dengan issue hak-hak individu manusia dan batas-batas dari pemerintah. Hugo Grotius, Thomas Hobbes dan John Locke banyak menulis tentang Hukum Internasional adalah pemuka Hukum Alam Zaman Modern. Kemudian pemikiran Hukum Alam Zaman Modern dimulai oleh John Finnis, pemikirannya adalah aplikasi dari pandangan Thomas Aquinas yang berhubungan dengan masalah etika.
Pemuka Hukum Alam lainnya dalam zaman modern adalah Lon Fuller yang menolak secara tegas apa yang dilihatnya sebagai teori Hukum Positif. Fuller mengatakan bahwa hukum itu sebagai tingkah laku manusia yang menentukan peraturan-peraturan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemukan-pemuka Hukum Alam Tradisional adalah Cicero dan Thomas Aquinas. Cicero berpendapat Hukum Alam itu tidak berubah-rubah dan tidak mempunyai perbedaan dalam masyarakat yang berbeda. Setiap orang mempunyai akses kepada standar dari hukum yang  tertinggi ini dengan menggunakan akal. Hukum yang tertinggi itu adalah pencerminan Divine Law atau Hukum Tuhan.
Selanjutnya Thomas Aquinas mengatakan hukum ada empat macam : the eternal law, the natural law, the divine law, and human (positive) law. Menurut Aquinas, Hukum Positif berasal dari Hukum Alam. Kadang-kadang Hukum Alam mendiktekan bagaimana seharusnya Hukum Positif. Misalnya, Hukum Alam mensyaratkan bahwa pembunuhan itu terlarang. Pada lain waktu Hukum Alam memberikan ruang kepada manusia untuk memilih (berdasarkan adat lokal atau pilihan kebijakan). Hukum Alam menghendaki peraturan jalannya mobil untuk keselamatan pihak lain. Akan tetapi Hukum Alam memberikan keleluasaan kepada pilihan manusia, jalan di sebelah kiri atau di sebelah kanan, kecepatan kendaraan 55 mil/jam atau 65 mil/jam. Perdebatan tentang pemikiran Aquinas terus berlangsung, misalnya, apakah Aquinas percaya Norma Moral berasal secara langsung dari pengetahuan manusia atau berdasarkan pengalaman penjelmaan alam atau produk dari pengertian praktis dan pemikiran berdasarkan pengalaman manusia.
Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang dibuat manusia. Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles menganggap manusia adalah bagian dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, diikuti dengan akal yang cemerlang, yang membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya kekhususan yang menonjol.
Dalam perkembangan selanjutnya Thomas Hobbes mempunyai motif politik dengan menggunakan Hukum Alam (Natural Law) untuk membenarkan perlunya pemerintahan yang absolut, kekuasaan politik yang besar untuk melindungi rakyat biasa melawan mereka sendiri dan melawan kekurangan/kelemahan mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Dominikus Rato,1998 Filsafat Hukum Mencari Menemukan dan Memahami  Hukum, (Surabaya : PT Astana Mas).
 Anshori Abdul Ghofur , 2009. Filsafat Hukum Sejarah Aliran dan Pemaknaannya. (Yogyakarta : UGM Press,).
Friedmann W 2008, Teori dan Filsafat Hukum, ( Jakarta : PT Raja  Grafindo persada ).
Strauss, Leo (1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social Sciences. Macmillan. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law





[1] . Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari Menemukan dan Memahami  Hukum, (Surabaya : PT Astana Mas,1998 ). hal.190.
[2] . Abdul Ghofur  Anshori, Filsafat Hukum Sejarah Aliran dan Pemaknaannya. ( Yogyakarta : UGM Press, 2009 ). hlm. 88.
[3] . Ibid, hlm. 90.
[4] . W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, ( Jakarta : PT Raja  Grafindo persada2008 ), hlm  71.
[5] . Ibid, hlm. 75.
[6] . Strauss, Leo (1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social Sciences. Macmillan. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law

hukum pidana ta'zir

MAKALAH HUKUM PIDANA ISLAM
TINDAK PIDANA TA,ZIR
عقوبة التعازير
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

Kelompok XI (Sebelas)
Ketua : Tarmiji Tahir Tanjung (25153006)
Sekretaris : Marwah (25153004)

Fakultas                                : Syari’ah dan Hukum
Jurusan                                 : Hukum Pidana Islam (Jinayah)
Semester                              : IV-A
Mata kuliah                          : Hukum Pidana Islam II
Dosen pembimbing           : Eldin H Zainal MA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
TA.2016/2017
KATA PENGANTAR

                Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa. Atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, dengan bentuk maupun isi yang sederhana semoga maklah tentang tindak pidana ta’zir ini dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran, acuan, petunjuk bagi pembaca yang mencari atau sedang mendalami ilmu tentang pidana Islam yaitu tepatnya dalam pembahasan pidana ta’zir.
                Makalah ini kami susun untuk menambah wawasan, pendalaman, dan pengetahuan bagi para pembaca terutama bagi kami yang menyusun makalah. Dan semoga kedepannya untuk terus mendalami pembahasan yang ada dimakalah ini kami pemakalah mendapat pendalaman yang lebih mengakar sampai kepada inti ta’zir yang sebenar-benarnya, karena dengan makalah yang sederhana ini belum bisa untuk menjawab masalah ta’zir 100% sampai intinya.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rumusan Masalah

1)      Pengertian tindak pidana ta’zir?
2)      Dasar hukum tindak pidan ta’zir?
3)      Macam-macam tindak pidana ta’zir?
4)      Kekuasaan yang menetapkan tindak pidana ta’zir?

B. Pengertian ta’zir

Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah;
تعريف التعازير : التعزير هو تأديب علي ذنوب لم تشرع فيها الحدود، اي: هو عقوبة علي جراْءم لم تضع الشريعة لأنها عقوبة مقدرة.
Ta’ri ta’zir : ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang tidak disyari’atkan padanya hudud, artinya: dianya hukuman atas tindak pidana yang tidak ditetapkan syari’at karena merupakan hukuman yang harus diperkirakan (oleh ulul amri).

Menurut arti bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata ﻋݫر- يعزر yang sinonimnya :
1.       منع ورد yang artinya mencegali dan menolak.
2.       ادب  yang artinya mendidik.
3.       عظم ووقر yang artinya mengagungkan dan menghormati.
4.       اعان وقوى ونصر yang artinya membantunya, menguatkan, dan menolong.
Dari keempat pengertian tersebut, yang paling relevan adalah pengertian pertama: المنع والرد (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua التأديب (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah dan Wahbah Zuhaili.[1]




Wahbah Zuhaili mendefenisikan ta’zir mirip dengan defenisi diatas;
وهوشرعا : العقوبة المشروعة على معصية او جناية لاحد فيها ولا كفارة
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.
               
Ibrahim Unais dan kawan-kawan mendefenisikan ta’zir sebagai berikut;
التعزير شرعا : تأديب لايبلغ الحد الشرعى
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak had mencapai hukuman syar’i.
                Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak manusia (‘adamiyyi) yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ta’zir berfungsi memberikan pelajaran/pendidikan bagi pelaku dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain berpendapat sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kifarat.[2]
                Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas, jelas bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapakan oleh syara’. Dikalangan ulama, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Dari defenisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian, inti dari jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat.
Adapun yang dimaksud dengan maksiat disini adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para fuqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti membayar zakat, meninggalkan shalat fardu, enggan membayar hutang padahal mampu, menghianati amanat, seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil waqaf, dan lain sebagainya.[3]




BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar hukum
            Dasar hukum ta’zir Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
!$¯RÎ) š»oYù=yör& #YÎg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ƒÉtRur ÇÑÈ   (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ  
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(QS. Al-Fath: 8-9)
                Dasar hukum ta’zir dalam beberapa hadis Nabi saw. Hadis-hadis tersebut antara lain:
عن بهزابن حكيم عن ابيه عن جده, ان النبى صلى الله عليه وسلم حبس فى التهمة (رواه ابو داودوالترمذى والنساءى والبيهقى وصححه الحاكم)
                “Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan”. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’I, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).
عن ابى بردة الانصارى رضى الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لايجلد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله تعالى (متفق عليه)
            “Dari Abi Burdah Al-anshari ra. bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda. tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala”. (Muttafaq alaih).
وعن عاءشة رضى الله عنها ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : أقيلوا ذوى الهيءات عثراتهم الاااحدود (رواه احمد ابو داود والنساءى والبيهقى)
            “Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw bersabda: Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, dan Baihaqi).[4]

                Menurut Al-Kahlani para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qodzaf, murtad, dan pembunuhan. Selain jarimah-jarimah tersebut, termasuk jarimah ta’zir, meskipun ada juga jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti liwath (homoseksual), lesbian, dan lain-lain.
B. Macam-macam ta’zir
Jariamah ta’zir jika dilihat dari hak yang dilanggar dapat dibagi kepada dua bagian;
1.       Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah SWT.
Yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya berbuat kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita lain yang bukan istri, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain.
2.       Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu.[5]
Yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu/perseorangan adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan, dan lain-lain.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian;
a.       Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.
b.      Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
c.       Ta’zir karena melakukan pelanggaran (Mukhalafah).
Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian;
1.       Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah Hudud atau Qishash, tetapi syarat-syaratnya  tidak terpenuhi, atau ada subhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.
2.       Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumnya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran atau timbangan.
3.       Jarimah ta’zir yang baik jenis ataupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Ciri-ciri yang mutlak terdapat pada jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
a.       Tidak diperlukan asas legalitas secara khusus, seperti pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Artinya setiap jarimah ta’zir tidak memerlukan ketentuan khusus karena nash hukumnya tidak ada, samar, atau diperdebatkan.
b.      Bentuk perbuatan dapat merugikan orang lain.
c.       Ketentuan hukumnya menjadi wewenang Hakim.
d.      Jenis sanksinya bervariasi.[6]
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada beberapa bagian;
1). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan
Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman mati (qhishash) dimaafkan maka hukumnya diganti dengan diat. Apabila hukaman diat dimaafkan juga maka ulil amri berhak menjatuhkan hukuman ta’zir apabila hal itu dipandang lebih maslahat.[7]
Kasus lain yang berkaitan dengan pembunuhan yang diancam ta’zir adalah percobaan pembunuhan apabila percobaan tersebut dapat dikategorikan kepada maksiat.
2). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan
Menurut imam Malik, hukum ta’zir dapat digabungkan dengan qishash dalam jarimah pelukaan, karena qishash merupkan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat. Disamping itu,ta’zir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelaku apabila qishashnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’
3). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak
Jarimah ta’zir macam yang ketiga ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Diantara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman had, atau terdapat subhat dalam pelakunya, atau tempat(objeknya).
Penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zir adalah apabila orang yang dituduh itu adalah bukan orang muhshan. Kriteria muhshan menurut ulama adalah berakal, baligh, islam, dan iffah (bersih dari zina). Apabila seseorang tidak memiliki syarat-syarat tersebut maka ia termasuk ghair muhshan. Termasuk juga kepada ta’zir, penuduhan terhadap sekelompok orang yang sedang berkumpul dengan tuduhan zina, tanpa menjelaskan orang yang dimaksud.
4). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian dan perampokan. Apabila kedua jarimah tersebut syarat-syaratnya telah dipenuhi maka pelakunya dikenakan hukam had. Akan tetapi, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan hukuman had melainkan hukuman ta’zir.
5). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jarimah ta’zir yang masuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan yang benar) di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacy orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin).
6). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah ta’zir yang masuk dalam kelompok ini adalah :
a.       Jarimah yang mengganggu keamanan negara/pemerintah, seperti percobaan kudeta.
b.      Suap.
c.       Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalai dalam menjalankan kewajiban. Contohnya seperti penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara, atau kewenang-wenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.
d.      Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat.
e.      Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap pengadilan, dan menganiaya polisi.[8]
C. Macam-macam hukuman ta’zir
1). Hukuman Mati.
Sebagian besar fuqaha memberikan pengecualian dari peraturan umum tersebut, yaitu memperbolehkan hukan mati sebagai hukum ta’zir manakala kemaslahatan umum menghendaki yang demikian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku tidak bisa ditolak kecuali dengan jalan pembunuhan, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bdi’ah (penyebar fitnah), dan residivis yang berbahaya.[9]
Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukan mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang ulang.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti melakukan kerusakan dimuka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha hanabilah.
Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan assunnah. Demikian pula hukuman mati dapat diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan muhshan dan ghaitu muhshan.[10] Alasan yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا المفعول به (رواهالخمسةالاالنساءى)
“siapa-siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum nabi Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan objeknya. (hadis diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali Nasa’i)”
2). Hukuman Jilid (Dera).
Hukuman jilid merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan juga merupakan hukuman yang di tetapkan untuk tindak pidana hudud dan ta’zir. Hukuman ini bahkan merupakan hukuman yang diutamakan bagi tindak pidana ta’zir yang berbahaya. Sebab-sebab yang mengutamakan hukuman tersebut adalah beberapa hal-hal berikut;
·         Lebih banyak berhasil memberantas para pelaku berbahaya yang biasa melakukan tindak pidana.
·         Hukuman jilid (dera) mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah. Hakim bisa memilih jumlah jilid/dera yang terletak antara keduanya yang sesuai dengan tindak pidana dan keadaan diri pelaku sekaligus.
·         Dari segi pembiayaan pelaksanaannya, hukuman ta’zir jilid/dera tidak merepotkan keuangan negara dan tidak pula menghentikan daya usaha (produktivitas) pelaku ataupun menyebabkan keluarganya terlantar, sebagaimana yang diakibatkan oleh hukuman kurungan.
·         Hukuman jilid/dera dapat menghindarkan pelaku dari akibat-akibat buruk penjara, seperti rusaknya akhlak, kesehatan, dan terbiasa menganggur dan bermalas-malasan.[11]
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) seperti tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya.[12]
Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk pada bagian dada dan perut, karena pukulan kepada bagian tersebut dapat membahayakan keselamatan orang yang terhukum. Larangan pencambukan pada bagian kepala didasarkan kepada atsar sahabat Umar yang mengatakan kepada eksekutor jilid.
اياك ان تضرب الرأس والفرج
“hindarilah untuk memukul kepala dan farji”.[13]
3). Hukuman penjara dan kurungan.
                Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum islam yaitu hukuman kawalan terbatas (waktunya) dan hukuman kawalan tidak terbatas.
a.       Hukuman kawalan terbatas
Hukum islam menetapkan hukuman kawalan terbatas untuk pidana ta’zir biasa dan pidana ringan/biasa. Batas terendah hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi tidak ada kesepakatan diantara fuqaha.
b.      Hukuman kawalan tidak terbatas
Telah disepakati oleh fuqaha bahwa orang yang dikenakan hukuman ini adalah orang yang berbahaya, orang yang terbiasa melakukan tindak pidana (mu’tadul ijram), orang biasa melakukan tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, dan pencurian atau orang yang tindak pidananya tidak dapat dicegah dengan hukuman biasa.[14]
4). Hukuman pengasingan (at-taghrib)
                Hukuman ini dijatuhkan jika perbuatan pelaku dapat memengaruhi orang lain (menjalar) atau membahayakan dan merugikan orang lain.
5). Hukuman penyiaran nama baik, yaitu disebarluaskan kejahatannya oleh berbagai media (tasyhir)
                Hukuman ini dijatuhkan atas tindak pidana yang berkaitan dengan keprcayaan, seperti kesaksian palsu dan penipuan.
6). Hukuman denda berupa harta (garamah)
                Suatu hal yang disepakati fuqaha bahwa hukum Islam menghukum sebagian tindak pidana ta’zir dengan denda
7). Hukuman kaffarah, karena pelaku berbuat maksiat, misalnya berpuasa dua bulan  berturut-turut, memberi makan fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya, dan memberi pakaian kepada orang yang membutuhkan.[15]
8). Hukuman salib
                Untuk hukuman ta’zir, hukuman salib tidak dibarengi atau didahului oleh hukuman mati. siterhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang wudhu untuk mengerjakan shalat, tetapi selam masih disalib terhukum shalat harus dengan isyarat.
9). Hukuman peringatan
                Dalam hukum Islam, hukuman peringatan termasuk hukuman ta’zir. Hakim boleh hanya menghukum pelaku dengan hukuman peringatan bila hukuman itu cukup membawakan hasil. Al-Qur’an secara jelas menyebutkan hukuman peringatan:
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù ……  
“ wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka”
10). Hukuman teguran (Taubikh)
                Apabila hakim memandang bahwa hukuman teguran dapat memperbaiki dan mendidik terpidana, cukup bagi hakim menjatuhkan hukuman teguran kepada terpidana.
11). Hukum ancaman (tahlid)
                Hukum ancaman juga termasuk dalam hukuman ta’zir, dengan syarat bukan ancaman kosong dan hukuman ini membawa hasil serta dapat memperbaiki keadaan terpidana dan mendidiknya.
12) Hukuman-hukuman lainnya[16]
·         Dicabut dari hak kepegawaian (pemecatan / al-azlu minal wazifah)
·         Pencabutan hak-hak tertentu (al-hirman)
·         Perampasan harta materil (al-musadarah)
·         Pemusnahan (izalah)
 C. Kekuasaan yang menetapkan ta’zir
                Menurut mazhab Hanafi, ta’zir diserahkan kepada pemerintah atau ulul amri dengan mempertimbangkan stratifikasi manusia yang dibaginya kepada empat macam, yaitu: orang yang paling mulia adalah golongan ulama disebut dengan asyraf al-Asyraf. Kedua: orang-orang yang mulia yaitu para pemimpin yang harus diberi sanksi yang lebih berat, bisa dengan peringatan keras atau dihadirkan ke meja hijau (pengadilan) disebut dengan al-Asyraf. Ketiga: harus diberi peringatan keras atau hukuman penjara disebut dengan al-Ausath. Sedangkan golongan keempat disebut dengan al-Akhsa (rendah) mereka harus dipenjara atau dihukum jilid.
                Menurut mazhab Hambali, diserahkan kepada pemerintah (ulul amri) untuk mempertimbangkan berat ringan hukumannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Taimiyyah, bahwa ta’zir merupakan otoritas pemerintah yang hukumannya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukannya.
               


Menurut mazhab Syafi’i, pada prinsipnya hukum ta’zir diserahkan kepada ijtihad ulul amri, baik jenisnya maupun berat ringan hukuman disesuaikan dengan keadaan pelaku, dan tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan menurut imam Malik, hukuman ta’zir disesuaikan dengan kondisi dan situasi pelaku, bahkan perbedaan tempat dan waktu akan mempengaruhi berat ringannya hukuman.[17]
                Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa jarimah ta’zir merupakan hukuman yang diserahkan kepada pemerintah (ulul amri), khususnya Hakim yang menjatuhkan hukuman.
                Dalam hal otoritas/kekuasaan Hakim menjatuhkan hukuman imam mazhab berbeda pendapat; menurut mazhab Hanafi, otoritas Hakim tidak mutlak, hanya dari segi macamnya hukuman, berarti bila sanksi yang dipilih adalah sanksi jidil, maka harus dikaitkan dengan batas tertinggi had dan tidak boleh melampauinya.
                Menurut mazhab Syafi’I, apabila hakim memilih hukuman pengasingan (al-taghrib) sebagai hukam ta’zir, maka tidak boleh melampaui batas lebih dari satu tahun. Golongan maliki berpendapat bahwa otoritas hakim berpengaruh dari segi macam dan kadarnya, jadi dapat memilih satu macam hukuman menurut ijtihadnya, bahkan dapat melampaui batas sanksi hudud, .
Menurut mazhab Hambali, dan sebahagian mazhab Syafi’iyah apabila siterhukum itu residivis dan hukum hak tidak memberikan pengaruh baginya maka hakim boleh menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman mati agar tidak membawa mudarat kepada manusia.[18]
                Dari pendapat-pendapat para imam mazhab diatas menunjukkan bahwa ancaman ta’zir diserahkan kepada Hakim untuk menjatuhkannya, akan tetapi ia harus mempertimbangkan dari berbagai segi tanpa melampaui  batas kemanusiaan. Hakim hanya bertugas untuk menjatuhkan sanksi terhadap sipelaku sementara untuk penetapan tindak pidana ta’zir sepenuhnya hak ulul amri. Dalam artian lain bahwa yang menetapkan kadar hukum tindak pidana ta’zir adalah ulil amri dan yang menetapkan hukuman untuk pelaku tindak pidana adalah otoritas Hakim.


BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
                Dari pembahasan diatas (pembahasan makalah) dapat kita tarik beberapa kesimpulan :
v  Yang pertama itu kita dapat menyimpulkan bahwa artian ta’zir yang sebenar-benarnya berdasarkan beberapa pendapat para pakar hukum islam adalah suatu istilah atau nama bagi suatu perbuatan atau tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan syara’. Dan termasuk juga tindak pidana hudud dan qishash/diyat jika pembuktiannya tidak memenuhi rukun dan syarat maka tindakan tersebut berpindah menjadi kepada pidana ta’zir.
v  Yang kedua itu kita dapat menyimpulkan bahwa pembagian jenis-jenis/macam-macam ta’zir itu perlu untuk kita lebih mudah memahami baik itu dari segi hak yang dilanggar, sifatnya, dan dasar hukumnya.
v  Yang ketiga dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan yang menetapkan ta’zir itu dari segi undang-undangnya adalah seutuhnya hak pemerintah (ulul amri)  dan dari segi pembuktian atau penjatuhan hukum sepenuhnya milik hakim.



[1] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 248
[2] Nurul irfan, Fiqh jinayah, (Jakarta: Amzah,2013), hlm. 136
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 249
[4] Ibid, hlm. 253
[5] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 255

[6] Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam fiqh jinayah, (Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm. 594
[7] Ibid, hlm. 257
[8] Ibid, hlm. 258

[9] Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 89
[10] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 259
                                                                            
[11] Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 94
[12] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 260

[13] Ibid. hlm. 260-261
[14] Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 97
[15] Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam fiqh jinayah, (Pustaka Setia: Bandung, 2013), hlm. 596
[16]Ensklopedi Hukum Pidana Islam, (PT. Karisma Ilmu : Jakarta, 2008), hlm. 101
[17] Zainal H Eldin, Hukum Pidana Islam sebuah perbandingan, (Bandung: Citapustaka, 2011), hlm. 175
[18] Ibid, hlm. 176